Senin, 22 Juni 2009

maafkan...

Sebuah akuarium terpasang manis di pojok kamar. Ralph, Leo, Donny dan Mike ditemani teman teman kecilnya sedang asik berenang di dalamnya.

Kalimat diatas bukanlah sebuah awalan cerpen atau cerita khayalan, hal itu nyata terjadi di kamar saya. Beberapa teman terkejut demi mendapati adanya akuarium ini. Hehehehe… bukan apa apa, akuarium beserta isinya itu merupakan kado ulang tahun terindah yang pernah saya dapatkan, dan merupakan sebuah terapi psikologis atas apa yang telah saya lakukan waktu yang lalu.
Yang unik, pada awalnya saya tidak terlalu tertarik dengan mereka berempat (Ralph dkk). Tapi pepatah tua jawa memang benar adanya “witing tresno jalaran soko kulino”, maka saya yang pada awalnya sangat malas untuk mengganti air, memberi makan dll, berubah 180o
Semuanya berawal setelah Leo dan Mike mogok makan beberapa hari, lemas tidak bertenaga. Maka malam itu juga saya langsung browsing, cari info sebanyak banyaknya tentang jenis kura kura ini. Beragam info saya dapatkan, dan ternyata apa yang terjadi pada mereka akibat perawatan asal asalan saya selama ini.
Maka esoknya dengan berbekal uang saku satu bulan, mengajak seorang teman saya jalan jalan ke Ngasem. Pasar hewan dekat kraton Jogja.di sana saya temukan banyak hewan dan kura kura lain yang bernasib sama atau bahkan lebih buruk dari Leo dan Mike.
Sepulang dari Ngasem, saya membawa banyak oleh oleh untuk kura kura kecil saya.sebuah akuarium ukuran standart untuk 4 ekor kura kura, sebuah filter dan lampu uv serta penghangat untuk mereka. Juga 12 ekor ikan kecil yang menambah keceriaan akuarium.
Kini, setiap pukul 6.30am,Ralph dkk berjemur di bawah matahari pagi hingga pukul 8.00am. makan teratur 2x sehari, 2x sayuran dan cacing tiap minggu, serta lingkungan akuarium yang lebih luas.
Alhamdulillah, beberapa hari kemudian kondisi Leo dan Mike membaik.yang masih terpikir hingga saat ini adalah nasib kura kura yang lain. Masih banyak Leo dan Mike yang lain di Ngasem. Menunggu nasib.entah lebih baik, atau mungkin menjadi persinggahan terakhir di dunia.

Sabtu, 20 Juni 2009


Beberapa hari sejak sore itu, nafsu makan berkurang, pikiran tak tenang dan insomnia membayang ketika petang. Hari hari penyesalan terjadi. Bahkan hingga saat ini. Ketika saya menuliskannya hanya sekedar berharap semoga ada orang lain yang mampu mengambil hikmahnya,

Ketika itu pukul empat sore, ketika saya berjalan menuju terminal Giwangan. Semua berjalan sebagaimana mestinya, hingga disebuah tikungan di bawah pohon, secara tak sengaja saya melihat sebuah sarang burung tergeletak di tanah.sarang itu jatuh dari tempatnya mungkin lima meteran. Dan dalam sarangh tersebut terdapat tiga ekor anak burung,dua tepatnya. Karena salah satunya sudah mati dirubung semut merah.yang mengenaskan, dua anak burung itu belum berbulu. Masih begitu lemah, dengan kelopak mata yang masih tertutup, dan beberapa semut yang mulai datang menggigitnya.
Segera saya angkat dua anak burung tersebut, saya bersihkan dari semut semut yang menggigitnya. Lalu diam. Bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Bila saya tinggalkan, saya telah membiarkannya mati sia sia. Sedangkan kondisi saya hamper tidak mungkin untuk membawanya pulang.yang saya tahu, induk burung tidak akan memperhatikan nasib anaknya apabila sarangnya telah jatuh menyentuh tanah.

Setelah lama terdiam. Berperang dengan berbagai argument dan pemikiran. Saya menyerah pada insting dasar umat manusia, yang menganggap umat manusia tak lebih kuat daripada dirinya.
Pada akhirnya saya meninggalkannya di sarang burung yang penuh semut merah merubung, setelah sebelumnya saya sembelih keduanya dengan mengucap asma Allah. Bangkainya saya kembalikan pada semut semut merah yang akan mengembalikannya pada wujudnya yang tak abadi.

Saya tidak mungkin membawanya, lebih tidak mungkin meninggalkannya mati tersiksa. Saya tidak tahu, apakah yang saya lakukan sudah benar atau salah. Yang saya tahu, saya merasa amat bersalah setelahnya. Saya tidak pernah berharap mendapatkan pengalaman seperti ini,pun ketika saya mendapatkannya, saya tak bisa menolaknya. Andai saya boleh memilih…

come back!

Mengenaskan. Beberapa minggu tanpa up date. Tanpa sedikit perhatian. Tak adil rasanya bila mengkambinghitamkan musibah yang terjadi. Ini soal eksistensi.
Dan aku telah takluk oleh diri. Untuk “mengesampingkan” hal hal seperti ini. Tak perlu rasanya kata maaf terucap, karna memang tak pantas dan tak pasti ditujukan untuk siapa dan apa.
Pada hakikatnya aku tak pernah mampu berhenti menulis. Yang ada hanya berhenti mengetik, sebuah implementasi menulis itu sendiri. Langkah nyata membawa tulisan ke dunia maya.
Banyak hal telah terjadi, ada banyak tulisan berserakan. Ketka dikumpulkan untuk “ditulis” kembali, problematikanya terlanjur basi.
Maka dengan sisa sisa tulisan ini, aku kembali, merangkai mimpi untuk esok yang semoga makin berseri.