Sabtu, 21 Februari 2009

Ponari dan Perang Akal…


Sungguh! Bukan main! Lagi-lagi kota Jombang menjadi pusat perhatian nasional setelah sebelumnya Ryan sang penjagal menghitamkan langit Jombang, kini giliran Ponari, murid kelas 3 SD Negeri 1 Balongsari yang menjadi dukun tiban setelah adanya petir di sore hari “memberinya” batu yang menjadi mediator berbagai jenis penyakit.

Yah, bagaimanapun ini adalah sebuah tamparan keras pemerintah yang dianggap gagal menyediakan fasilitas kesehatan yang murah.
Ponari adalah sebuah fenomena alam. keluar dari konteks benar salah. Ponari kini adalah selebritis medis Indonesia. Oleh karenanya, di sini saya berusaha membuka pola pikir kita agar lebih terbuka terhadap fenomena ini.Sejenak saja mengistirahatkan logika dan rasional, bukan juga berbisik dengan pikiran-pikiran gaib yang tak berteori.
Fenomena Ponari mari kita kaitkan dengan ranah filsafat teologi. Pemahaman ketuhanan yang dibangun kadang hanya mendasar pada realitas, rasionalitas, dan logika.
Jika hal ini benar terjadi maka Tuhan adalah wilayah kajian empiris yang tidak dapat diraba secara indra. Namun sebagai manusia yang pasti sulit mempertahankan kondisi sedemikian ini, pada suatu titik tertentu, pasti akan buntu. Alam empiris seolah hanya bisa tersaji tanpa bisa menyaji.
Melalui peristiwa ini, Allah seolah mengingatkan kita yang melupakan keberadaan-Nya. Nama Allah memang selalu tersebut oleh lidah. Namun kehidupan sehari-hari? Sudahkah terwujud?
Dan dengan sudut pandang semacam ini, marilah sejenak merenungkan kembali konsep penghambaan diri sebagai peredam perang akal dan hati.
Sejenak saja, mari membaca dengan hati, akal dibangkucadangkan, menunggu saat yang tepat untuk digunakan kembali. Bukannya tidak menggunakan akal sepenuhnya, alangkah baiknya jika mata hati dan akal mampu berjalan secara harmonis dan seimbangdalam hidup ini.
Kepada mereka yang masih mendewakan dukun tiban ini, mari berpikir jernih, bukan sekedar nekat adalah sebuah ikhtiar yang mulia. Jangan sampai salah langkah, apalagi hingga mempersembahkan 4 nyawa sebagai korbannya. Kesembuhan… sesungguhnya tak pernah lepas dari tangan Tuhan.

Minggu, 08 Februari 2009

no.... one..!


Kadang kata tak berarti….
Kalau hanya kan sakiti…..
Pilihlah aku-So7

Alunan lagu ini beberapa waktu yang lalu dikost seorang teman, seperti mengingatkan jiwa pada rasa yang telah lampau.

Saat saat seperti ini, seolah menjadi penasaran pada diri sendiri. Akhirnya, tadi malam kuberanikan diri, membuka kembali pintu abu-abu. Sebuah ruangan kecil,usang dan dekil di pojok hati. Ruang yang pernah menjadi sumber segala energi.kemauan. dan mimpi. Berusaha mengejar, mungkin saja masih ada, sesosok bayangan atau seseorang yang tertinggal yang menjadi penghuni tempat ini.

Tapi yang ada, hanyalah ruangan kosong. Berdebu. Berwarna hitam. Tanpa seseorang atau sesosok bayangan samar ada disana. Ketika melangkah.... kepalaku tersaput jaring laba-laba. Ah... ternyata memang sudah lama... aku berteriak. Kencang di dalamnya, dan hanya suaraku seorang. Benar-benar tak ada seorangpun disana.

Lalu aku keluar. Menutup pintu abu-abu itu kembali rapat-rapat. Menguncinya, menggemboknya, lalu dipalang dengan 7 kayu besar.
Dan aku lega, akupun pergi segera dari tempat tempat itu.

Selasa, 03 Februari 2009

Salam olahraga!


Yap, setelah agak lama vakum nulis, akhirnya keluar juga… kali ini jimat gawang Indonesia menjadi bahan bicara saya. 2 kali bermain melawan klub dengan level yang lebih tinggi, timnas kita tak sekalipun tertunduk kebobolan. Memang tak bisa dipungkiri bahwa ada banyak faktor yang menjadi penentu, tapi pada plontos satu ini, saya yakin Indonesia patut berterima kasih padanya.

Memulai debutnya sebagai penjaga gawang timnas pada penyisihan grup piala asia 2007 lalu melawan Korea Selatan, Markus perlahan tapi pasti mulai menyingkiran kiper gemuk nan imut Indonesia, Jendri Pitoy. Hingga akhirnya sekarang posisi Markus sebagai kiper utama tak tergantikan di timnas.

Dibesarkan di keluarga yang kesemuanya beragama kristen, Markus justru lebih tertarik kepada agama Islam. Putra dari pasangan Julius Ririhina dan Yenny Rosmawati (alm) ini lebih dekat pada keluarga dari pihak ibu yang notabene Muslim. Ibunda dari Markus sendiri sebelumnya seorang muslimah, sebelum akhirnya menikah dengan Julius Ririhina. Pada masa kecil, Markus sering kali bermain bersama saudara-saudaranya di masjid sekitar tempat tinggalnya, dari situlah sedikit sedkit dia mulai mengerti tentang dien ini.

Pada 2004, pada usia 25 tahun Markus mulai memdapatkan hidayah dari Allah SWT, dan ia pun memutuskan untuk masuk agama Islam. Sejak menjadi mualaf iapun berganti nama menjadi Muhammad Haris, namun karena sudah terlanjur beken Markus Horison. Nama itu ia pertahankan.

Semangat Markus! Be a good Moslem! Dan….

Salam olahraga!