Jumat, 22 Januari 2010


“Seumpama waktu sholat datang, dan terdapat sebuah mushala kecil yang kotor dan nyaris roboh. Dan antum harus menjadi makmum dari seorang imam yang dekil dan tidak antum sukai. Apa yang akan antum lakukan? Renungkan menjelang tidur. Dan beri saya jawaban setelah fajar bersinar. Jazakumullah khairan katsira…”

Pesan singkat ini masuk dalam hp saya tadi malam pukul 9.27pm. cukup mengejutkan memang. Tapi “kedatangan” sms ini cukup menggugah kesadaran batin saya.

Bayangkan apabila diri anda berada pada posisi tersebut. Tidak mnyenangkan bukan? Berada dalam kondisi setengah terpaksa melakukannya. Sholat adalah ibadah wajib. Shalat bertujuan agar setiap muslim mengetahui, memahami, menguasai dan mengamalkan dalam setiap lintasan hati, pemikiran, ucapan dan tindakannya bahwa setiap sendi kehidupan ini adalah dalam rangka sujud atau beribadah kepada Allah (QS.6 : 162). Tidak mungkin ditinggalkan dan tidak mungkin mencari tempat lain pabila adzannya telah berkumandang. Wajib.

Dan ketika kita menjadi makmum dari seorang yang tidak kita sukai?
Mau apa? Menggantikannya menjadi imam? Tak mungkin. Kita tahu betul kapasitas macam apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang imam. Belum tentu diri kita yang berasa lebih baik darinya sanggup menjalankan tugas sebagai imam. Dan keberadaannya di barisan terdepan sebagai imam, telah membuktikan kapasitasnya. Bukan hal yang mudah untuk mengganti maupun menjadi pemimpin. Pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Meski ia tak harus selalu mengorbankan dirinya untuk masyarakatnya.
Atau menggantinya dengan seorang yang lebih kita sukai? Yang lebih toleran terhadap perangai kita? Patutnya kita lihat dulu seberapa indah perangai kita. Mungkin, imam tersebut tidak menyukai kita dikarenakan sikap kita yang (mungkin) bertentangan dengan norma agama yang digawanginya.

Lalu? Apakah tidak lebih nyaman bila kita mencari saja mushala lain yang lebih baik, bersih dan besar? Yang memiliki imam yang kita sukai?

Mengapa kita harus pergi meninggalkan mushala kecil ini bila adzan telah berkumandang? Apakah kita bisa menjamin akan menemukan mushala yang lebih baik? Jangan jangan waktu kita nanti malah habis di tengah jalan? Melarikan diri dari mushala kecil ini, yang telah mengumandangkan adzannya. Mungkirkah kita dari panggilan Allah?

Lalu apa yang bisa kita perbuat dengan kondisi yang serba tidak nyaman ini? Mungkin beberapa mengatakan bahwa mereka akan menegakkan sholat dan berada di belakang sang imam. Namun kata hati tetaplah ada di hati. Tetap ada perasaan tak nyaman atas kondisi ini. Dan soal menegakkan mushala ini, itu memang berat. Tapi segalanya tetap mungkin. Ini semua memang tidak mudah. Tapi saya yakin bahwa pada akhirnya mushala ini akan berdiri tegak dan para makmum akan menyelesaikan salam bersama imamnya.
Yang paling dibutuhkan untuk itu adalah komunikasi yang jujur dan terbuka antara imam dan makmumnya. Imam harus mengerti siapa makmumnya, begitupun sebaliknya. Sehingga tidak terjadi kasak kusuk negative di belakang imam maupun imam yang nggerundel atas kelakuan makmumnya. Karena saya yakin. Banyak diantara makmumnya yang ingin membenahi mushala itu, namun takut dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya agar sesuai di mata imam.

Pada akhirnya, inilah jawaban saya atas sms tadi. Saya mungkin terlalu lama “masbuk” di mushala ini. Mafhumlah kita pada mushala, imam dan segala asosiasinya. Semoga kita semua masih bisa berjalan bersama menegakkan satu panji. Jazakumullah…

4 komentar:

handika mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...

ya kalau imamnya cuman dekil sih aku g masalah sama sekali, cuman kalau unsur g suka saja .... masih bisa ditoleransi waktu sudah Allohu Akbar, tapi kalau dah nge-sok minta ampun, duh rasanya mending g usah jama'ah ma orang seperti itu deh ^_^

Anonim mengatakan...

sudah bukan sekadar masalah imam dan makmum, namun telah merambah konsepsi qiyadah wal jundiyah

handika mengatakan...

tepat.
susah juga lho kalo kondisi seperti ini terus berlangsung..